Langsung ke konten utama

Makalah Fiqh Mawaris

MAKALAH
FIQIH MAWARIS

(Hak-hak Terhadap Harta Peninggalan)



Dosen Pengampu :
Lailatul Qadariyah SHI., MEI

KELOMPOK IV:
Uswatun Hasanah ( 120711100001)
Ikfina Himmati (120711100003)
Adi Pratama (1207111000  )
Maliki (120711100089)
Dini Daniyati (120711100096)
Ainur Rosyida (120711100097)

Fakultas/Prodi :
FISIB /Hukum Bisnis Syari’ah

UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
Jl. Raya Telang PO BOX 2 Kamal, Bangkalan – Madura
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmaanirrahiim
Assalamualaikum Wr. Wb
            Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang mana telah memberikan penulis rahmat serta hidayahnya sehingga penulis berkesempatan untuk menyelesaikan makalah penulis yang berjudul “Hak-hak Terhadap Harta Peninggalan”
            Dalam penyusunan makalah ini, tidak lupa  penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis, terutama kepada dosen pengampu, orang tua, serta teman – teman  yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
            Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan – kekurangan baik dalam teknik penulisan maupun pada materi yang ada. Untuk itu, kami menerima semua kritik dan saran dari para pembaca untuk perbaikan pada makalah – makalah selanjutnya.
            Nuun wal qalami wamaa yasthuruun
Wassalamu’alaikum wr.wb

Bangkalan, 20 September 2013


                                                                                                            Penulis


           




DAFTAR ISI

Halaman Judul                        .......................................................................................i
Kata Pengantar                       ......................................................................................ii
Daftar Isi                                 .....................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang                  ......................................................................................1
1.2  Rumusan Masalah             ......................................................................................1
1.3  Tujuan Penulisan               ......................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Tirkah                           .........................................................................2
2.2 Hak-hak yang berkaitan dengan Tirkah    ..............................................................5
2.3 Hak-hak Tirkah dalam aturan hukum lain             ......................................7
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan                                   ..........................................................................9
DAFTAR PUSTAKA                                    .........................................................................11


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
      Kebanyakan orang Arab di zaman jahiliyah beragama dengan sisa-sisa  syari’at Ibrahim dan Ismail dan dengan adat istiadat yang mereka ada-adakan dimasa fitrah ( masa tidak ada seorang Rasul yang menuntun dan membimbing mereka), baik yang merupakan aqidah, maupun yang merupakan adat atau tradisi.
      Di antara yang mereka ciptakan itu, ada yang tidak bisa diterima oleh akal dan fitrah seperti mempersekutukan berhala dengan Allah. Proses perjalanan manusiaadalah lahir hidup dan mati. Semua tahap itu membawa pengaruh dan akibat hukum dalam lingkungannya, terutama dengan orang yang dekat dengannya, baik dekat dalam arti nasab,maupun dalam arti lingkungan.
      Adanya kematian seseorang mengakibatkan timbulnya ilmu hukum yang menyangkut bagaimana cara pengoperan atau penyelesaian harta peninggalan kepada keluarga (ahli waris)-nya, yang dikenal dengan nama:  Hukum Waris. Dalam syari’at Islam ilmu tersebut dikenal dengan nama : Ilmu Mawaris, fiqh Mawaris atau faraid.
      Dalam hukum positif Indonesia selain dikenal dengan hukum waris yang berasal dari Syari’at Islam, dikenal juga hukum waris lain, yaitu hukum waris yang berasal dari hukum adat bangsa Indonesia dan hukum waris dari Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW).

1.2  Rumusan Masalah
1.      Apakah yang dimaksud dengan Tirkah ?
2.      Apa saja hak-hak yang berkaitan dengan Tirkah?
3.      Bagaimana hak-hak Tirkah dalam hukum lain ?
1.3  Tujuan  
1.      Untuk mengetahui pengertian Tirkah
2.      Untuk mengetahui hak-hak yang berkaitan dengan Tirkah
3.      Untuk mengetahui hak-hak Tirkah dalam hukum lain

BAB II
PEMBAHASAN

2.1    Pengertian Tirkah
     Setiap terjadi pewarisan pasti terdapat tiga unsur yang terkandung didalamnya; yaitu :
a.     Orang yang mewariskan atau pewaris disebut muwarits.
b.    orang yang mewarisi atau ahli waris disebut warits
c.     sesuatu yang diwariskan atau warisan disebut mauruts.
      Yang disebut terakhir ini (mauruts) lebih populer dengan sebutan tirkah. Yang dimaksud dengan tirkah adalah segala apa yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia, yang dibenarkan oleh syari’at untuk diwarisi oleh ahli warisnya.[1]
      Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Rifa’i Arief :

التِّرْكَةُ هِيَ مَا خَلَفَهُ الْمَيِّةُ مِنْ مَا لٍ أَوْ حَقٍّ.
Tirkah (harta peninggalan) adalah apa-apa yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia baik berupa harta atau hak.

      Dari buku Fiqih Mawaris Hukum kewarisan Islam oleh Prof. Dr. H. Suparman Usman, S.H., dkk mengatakan bahwa, mengenai tirkah ini Fatchurrahman (1981: 36-37) mengemukakan bahwa apa-apa yang ditinggalkan tersebut harus diartikan secara luas, tercakup didalamnya :
1.      kebendaan dan sifat-sifat yang mempunyai nilai kebendaan. Misalnya benda-benda tetap, benda-benda bergerak, piutang-piutang si mati yang menjadi tanggungan orang lain, diyah-wajibah (denda wajib) yang dibayarkan kepadanya oleh si pembunuh yang melakukan pembunuhan karena hilap, uang pengganti qisas lantaran tindakan pembunuhan yang diampuni atau lantaran yang melakukan pembunuhan adalah ayahnya sendiri dan lain sebagainya.
2.      Hak-hak kebendaan, seperti hak monopoli untuk mendayagunakan dan menarik hasil dari suatu jalan lalu lintas, sumber air minum, irigasi pertanian dan perkebunan, dan lain sebagainya.
3.      Hak-hak yang bukan kebendaan seperti hak khiyar, hak suf’ah, yakni hak beli yang diutamakan bagi salah seorang anggota serikat atau tetangga atas tanah, pekarangan atau lain sebagainya yang dijual oleh anggota serikat yang lain atau tetangganya, hak memanfaatkan barang yang diwasiatkan dan lain sebagainya.
4.      Benda-benda yang bersangkutan dengan hak orang lain, seperti benda-benda yang sedang digadaikan oleh si mati, barang-barang yang telah di beli oleh si mati suatu hidup yang harganya sudah di bayar tetapi barangnya belum diterima, barang-barang yang dijadikan mas kawin istrinya yang belum diserahkan sampai ia mati dan lain sebagainya.
      Pengertian tirkah diatas merupakan pendapat para Imam madzhab, selain Imam Hanafi. Hal ini sebagaimana dikemukakan Sayid Sabiq (1998:425)
وَ هِيَ عِنْدَ الْمَا لِكِيَّةِ وَ الشَّافِعِيَّةِ وَ الْحَنَا بِلَةِ تَشْمَلُ جَمِيْعَ مَا يَتْرُ كُهُ الْمَيِّتُ مِنْ اَمْوَالٍ وَحُقُوْقٍ سَوَاءٌ أَكَا نَتِ الْحُقُوْقٌ مَا لِيَّةً أَمْ غَيْرَ مَا لِيَّةٍ.

     Dan ia (tirkah), menurut malikiyah, syafi’iyah, dan hanabilah, mencakup segala apa yang ditinggalkan oleh si mati dari seluruh harta dan hak, baik hak-hak kebendaan maupun bukan kebendaan.
            Pengertian tirkah menurut Imam Hanafi, juga Ibnu Hazm adalah segalah apa yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia yang berupa harta benda saja. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Ibnu Hazm :
إِنِّ اللَّهَ أَوْ جَبَ الْمِيْرَاثَ فِيْمَا يُخْلِفُهُ اْلإِنْسَانٌ بَعْدَ مَوْتِهِ مِنْ مَالٍ لاَ فِيْمَا لَيْسَ بِمَا لٍ وَأَمَّا الْحُقُوْقُ فَلآَ يُوْ رَ ثُ مِنْهَا إِلاَّ مَا كَانَ تَا بِعًا لِلْمَالِ أَوْ فِيْ مَعْنى الْمَالِ

     Sesungguhnya Allah mewajibkan pewarisan dari apa yang ditinggalkan oleh manusia setelah ia meninggal dunia yang berupa harta benda ; sedangkan hak-hak tidaklah diwariskan, kecuali hak-hak tersebut mengikuti kepada bendanya atau ia diartikan sebagai harta benda. (Sayid Sabiq,1972:425)

     Dalam bentuk sistematis, jika hutang bersamalebih besar dari atau sama dengan harta bersama, maka:[2]

HBS = HB – UB
HBI = 0
 
 




HBS = 2/3 X (HB – UB)
HBI = 1/3 X (HB- UB)
 
     Sementara jika hutang bersama lebih kecil dari harta bersama, maka:           



HPS = HAS – US + HBS
HPI = HAI – UI + HBI

 
Sedangkan rumus untuk harta peninggalan adalah sebagai berikut :



Contoh Kasus:
Sepasang suami-istri membawa harta asal masing-masing sebesar Rp. 5.000.000,- kedalam perkawinannya dan memiliki harta bersama sebesar Rp. 5.000.000,- pula.
     Apabila si suami meninggal dengan meninggalkan hutang pribadi sebesar Rp. 2.500.000,- dan hutang bersama sebesar Rp.6.000.000,- maka harta peninggalannya adalah sebagai berikut.
     HBS     = HB – UB
                 = 5.000.000 – 6.000.000
                 = -1.000.000
HPS          = HAS – US + HBS
                 = 5.000.000 – 2.500.000 + (-1.000.000)
                 =1.500.000
     Sementara jika si istri yang meninggal dunia dengan kondisi yang sama, maka harta peninggalannya adalah sebagai berikut.
     Karena UB lebih besar dari HB maka:
HBI = 0
HPI = HAI – UI + HBI
        = 5.000.000 – 2.500.000 + 0
        = 2.500.000

2.2   Hak-hak yang berkaitan dengan Tirkah
     Hak-hak yang berkaitan dengan tirkah (harta peninggalan) orang yang meninggal dunia terdiri atas beberapa urutan. Urutan pertama harus didahulukan dari yang kedua, urutan kedua harus didahulukan dari yang ketiga, dan seterusnya.[3]
     Dari bebarapa hak yang harus ditunaikan yang berkaitan dengan harta peninggaln atau tirkah antara lain:[4]
1.      Semua keperluan dan pembiayaan pemakaman pewaris hendaknya menggunakan harta miliknya, dengan catatan tidak boleh berlebihan. Diantaranya, biaya memandikan, pembelian kain kafan, biaya pemakaman, dan sebagainya hingga mayit sampai ditempat peristirahatannya yang terakhir.
          Yang perlu diketahui dalam hal ini ialah bahwa segala keperluan tersebut akan berbeda-beda tergantung perbedaan keadaan mayit, baik dari segi kemampuannya maupun dari jenis kelaminnya.
2.      Hendaklah utang piutang yang masih ditanggung pewaris ditunaikan terlebih dahulu. Artinya, seluruh harta peninggalan pewaris tidak dibenarkan dibagikan kepada ahli warisnya sebelum utang piutangnya ditunaikan terlebih dahulu. Sabda Rasulullah SAW yang artinya “jiwa (ruh) orang mukmin bergantung pada utangnya hingga ditunaikan”.
3.      Wajib menunaikan seluruh wasiat pewaris selama tidak melebihi jumlah sepertiga dari seluruh harta peninggalannya. Hal ini jika memang wasiat tersebut diperuntukkan bagi orang yang bukan ahli waris, serta tidak ada protes dari salah satu atau bahkan seluruh ahli warisnya. Adapun penunaian wasiat pewaris dilakukan setelah sebagian harta tersebut di ambil untuk membiayai keperluan pemakamannya, termasuk diambil untuk membayar hutangnya.
                 Bila ternyata wasiat pewaris melebihi sepertiga dari jumlah harta yang ditinggalkannya, maka wasiatnya tidak wajib ditunaikan kecuali dengan kesepakatan semua ahli warisnya. Seperti halnya sabda Rasulullah SAW ketika menjawab pertanyaan Sa’ad bin Abi Waqash r.a pada waktu itu Sa’ad sakit dan berniat menyerahkan seluruh harta yang dimilikinya ke Baitul Mal. Rasulullah SAW bersabda : “.... sepertiga,dan sepertiga itu banyak. Sesungguhnya bila engkau meninggalkan para ahli warismu dalam keadaan kaya itu lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam kemiskinan hingga meminta-minta kepada orang.”
4.      Setelah itu barulah seluruh harta peninggalan pewaris dibagikan kepada para ahli warisnya sesuai ketetapan Al-Qur’an, As-Sunnah dan juga Ijma’. Dalam hal ini dimulai dengan memberikan warisan kepada Ash-habul Furudh (ahli waris yang telah ditentukan jumlah bagiannya. Misalnya ibu, ayah, istri, suami, dan lainnya). Kemudian kepada para ‘ashobah (kerabat mayit yang berhak menerima sisa harta waris, “jika ada” setelah Ash-habul Furudh menerima bagian).
                        Rifa’i Arief membaginya kepada lima urutan, yaitu :
1.        Hak yang berkaitan dengan zat harta peninggalan itu, seperti zakat dan gadai. Maka hendaklah didahulukan pengeluarannya sebelum lainnya.
2.        Mengeluarkan biaya perawatan jenazah dengan Ma’ruf (secara wajar).
3.        Melunasi hutang-hutang yang dituntut pembayarannya, baik hutang kepada Allah seperti pelaksanaan Ibadah haji bagi orang yang mampu, atau hutang kepada manusia.
4.        Memberikan wasiat maksimal sepertiganya kepada selain ahli waris, apabila lebih dari sepertiga atau diberikan kepada ahli waris, maka tidak sah, kecuali dengan persetujuan para ahli waris.
5.        Pewarisan.
                 Kemudian menurut Sayid Sabiq hak-hak yang berkaitan dengan harta peninggalan tersebut sebagai berikut :
1.      Harta si mati didahulukan untuk biaya pengkafanan dan penguburannya sebagaimana telah diterangkan dalam bab jenazah.
2.      Pelunasan hutangnya.
3.      Pemberian wasiatnya dari sepertiga sisanya, setelah pelunasan hutang.
4.      Pembagian harta yang tersisa kepada para ahli waris.

2.4    Hak-Hak Tirkah Dalam Aturan Hukum Lain
             Hal ini berarti jika pewaris tidak meninggalkan tirkah, maka tidak akan terjadi pewarisan. Adapun pengertian tirkah di kalangan para ulama ada beberapa pendapat. Ada yang menyamakan dengan pengertian mauruts (harta waris) ada juga yang memisahkannya, yaitu bahwa tirkah mempunyai arti yang lebih luas dari mauruts.
               KHI yang merupakan intisari dari berbagai pendapat para ulama, yaitu seperti dalam pasal 171 ayat (d) : “Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta benda benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya”.
        Sedangkan tentang harta waris dijelaskan pada pasal 171 ayat (e) ; “Harta waris adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.”
Dari pengertian di atas, dikatakan, bahwa secara umum harta peninggalan seseorang yang telah meninggal dunia adalah berupa :
1.      Harta kekayaan yang berwujud dan dapat dinilai dengan uang, termasuk piutang yang akan ditagih.
2.      Harta kekayaan yang berupa hutang-hutang dan harus dibayar pada saat seseorang meninggal dunia.
3.      Harta kekayaan yang masih bercampur dengan harta bawaan masing-masing.
4.      Harta bawaanyang tidak dapat dimiliki langsung oleh suami atau isteri, misal harta pusaka dari suku mereka yang dibawa sebagai modal pertama dalam perkawinan yang harus kembali pada asalnya, yaitu suku tersebut.
      Jadi yang menjadi harta warisan ialah harta yang merupakan peninggala pewaris yang dapat dibagi secara individual kapada ahli waris, yaitu harta peninggalan keseluruhan setelah dikurangi dengan harta bawaan  suami atau isteri, harta bawaan dari suami isteri dikurangi lagi dengan biaya untuk keperluan pewaris selama sakit, biaya pengurusan jenazah, pembayaran hutang si mati dan wasiat.
      Dari pengertian ini tampaknya KHI membedakan antara pengertian tirkah dan maurus.  










BAB III
PENUTUP

3.1  Kesimpulan
1.      Pengertian Tirkah
      Yang dimaksud dengan tirkah adalah segala apa yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia, yang dibenarkan oleh syari’at untuk diwarisi oleh ahli warisnya.
      Menurut Rifa’i Arif pengertian tirkah adalah:
التِّرْكَةُ هِيَ مَا خَلَفَهُ الْمَيِّةُ مِنْ مَا لٍ أَوْ حَقٍّ.
Tirkah (harta peninggalan) adalah apa-apa yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia baik berupa harta atau hak.
      Sedangkan menurut sayyid sabiq :

وَ هِيَ عِنْدَ الْمَا لِكِيَّةِ وَ الشَّافِعِيَّةِ وَ الْحَنَا بِلَةِ تَشْمَلُ جَمِيْعَ مَا يَتْرُ كُهُ الْمَيِّتُ مِنْ اَمْوَالٍ وَحُقُوْقٍ سَوَاءٌ أَكَا نَتِ الْحُقُوْقٌ مَا لِيَّةً أَمْ غَيْرَ مَا لِيَّةٍ.
“ Dan ia (tirkah), menurut malikiyah, syafi’iyah, dan hanabilah, mencakup segala apa yang ditinggalkan oleh si mati dari seluruh harta dan hak, baik hak-hak kebendaan maupun bukan kebendaan.”
2.      Hak- hak yang berkaitan dengan tirkah
      Hak-hak yang berkaitan dengan tirkah (harta peninggalan) orang yang meninggal dunia terdiri atas beberapa urutan .
Urutan pertama harus didahulukan dari yang ke dua, urutan kedua harus didahulukan dari yang ke tiga, dan seterusnya.
      Adanya perbedaan pendapat dari kalangan Fuqaha yang berkaitan dengan hak-hak tirkah, sehingga dapat disimpulkan bahwa hak-hak yang berkaitan dengan tirkah pewaris terdapat lima hak, antara lain :
a.     Hak yang berkaitan dengan zat harta peninggalan.
b.    Biya perawatan jenazah (Tajhiz).
c.     Pelunasan hutang.
d.    Pemberian wasiat.
e.     Pewarisan.
3.         KHI (Kewarisan Hukum Indonesia) merupakan intisari dari berbagai pendapat para ulama, yaitu seperti dalam pasal 171 ayat (d) : “Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta benda benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya”.
      Sedangkan tentang harta waris dijelaskan pada pasal 171 ayat (e) ; “Harta waris adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.”
      Jadi yang menjadi harta warisan ialah harta yang merupakan peninggala pewaris yang dapat dibagi secara individual kapada ahli waris, yaitu harta peninggalan keseluruhan setelah dikurangi dengan harta bawaan  suami atau isteri, harta bawaan dari suami isteri dikurangi lagi dengan biaya untuk keperluan pewaris selama sakit, biaya pengurusan jenazah, pembayaran hutang si mati dan wasiat.















DAFTAR PUSTAKA

            Hasbi Ash-Shiddieqie, Teungku Muhammad, Fiqh Mawaris Hukum Pembagian Warisan Menurut Syariat Islam, 2010, Semarang : Pustaka Rizki Putra.
            Usman Suparma., dkk, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam, 2002, Jakarta : Gaya Media Pratama
            Salaman Otje, dkk., Hukum Waris Islam, 2002, Bandung : Refika Aditama



[1] Suparman Usman, Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris ( Jakarta, Gaya Media Pratama, 2002), hlm. 43
[2] Otje Salman, Mustofa Haffas, Hukum Waris Islam (Bandung, Refika Aditama, 2002), hlm. 15
[3] Suparman Usman, Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris ( Jakarta, Gaya Media Pratama, 2002), hlm. 46-48
[4]  Media.isnet.org/islam/Waris/Definisi.html (diakses hari senin ,tanggal 16-09-2013)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BAB I PENDAHULUAN 1.1   Latar Belakang       Pada dasarnya Fiqh adalah suatu ilmu yang membahas hukum-hukum syariat islam berdasarkan Al-Quran dan Al-Hadist yang memiliki kebenaran yang pasti, dimana kebenaran_Nya itu diyakini oleh masyarakat muslim.       Di masa globalisasi saat ini, sudah banyak umat muslim yang melakukan sesuatu tanpa melihat ada atau tidaknya dalil atau dasar yang menyebabkan ia melakukan suatu tindakan tersebut. Padahal dapat kita ketahui bahwa manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna dari ciptaan yang lainnya, serta menjadi khalifah di bumi ini. Akan tetapi manusia melakukan atau bertindak semaunya tanpa melihat halal atau haram, baik atau buruk, salah atau benar, dan lain sebagainya. Kebanyakan saat ini manusia hanya melakukan sesuatu atas dasar individual atau hanya mementingkan diri sendiri tanpa melihat lingkungan disekitar.       Sehingga dapat disimpulkan bahwa kita sebagai umat Nabi Muhammad SAW dan juga sebagai khalifah dimu